oleh Feira Otna
Converse Chuck Taylor All Star adalah salah satu sneakers yang begitu ikonik. Popularitasnya turun dari generasi ke generasi dengan desain yang nyaris tidak berubah selama 100 tahun. Saya rasa hampir semua remaja Indonesia pernah memilikinya (atau setidaknya punya sepatu dengan desain serupa).
Pertemuan pertama saya dengan All Star dimulai di bangku SMP, tentu saja karena peraturan sekolah mengharuskan untuk memakai sepatu hitam setiap hari Senin. Saat itu tanpa berpikir akan status ikoniknya, pilihan saya jatuh kepada All Star hanya karena tersedia di hampir semua toko sepatu. Sneakers ini kemudian selalu melekat di kaki saya melalui bangku SMA, kuliah, dan hingga kini.
All Star yang Ikonik - refinedguy.com |
Desainnya yang sederhana dan khas membuat dua pasang All Star selalu ada di dalam rak sepatu saya sebagai sepatu yang wajib punya. Warnanya harus yang klasik, hitam putih dan putih, model Hi Top, serta harus dalam kondisi bagus. Saya bukan tipe orang yang menyukai sepatu belel. Bagi saya All Star belel lebih cocok sebagai aksen bila ingin tampil urakan. Berbeda dengan saya, rekan saya Taka menyukai All Star yang tampak lebih worn karena menurutnya sedikit belel membuat sepatunya tampak lebih ‘hidup’.
Diciptakan tahun 1917, All Star awalnya dibuat untuk bermain basket. Pada tahun 1921, pemain basket bernama Charles “Chuck” Taylor bergabung dengan tim basket bernama Converse All Stars yang disponsori oleh Converse. Tidak hanya memakai sepatunya, Chuck juga membuat beberapa perubahan yang membuat All Star lebih enak dipakai. Sepatu ini lalu dipakai oleh atlet Olimpiade dan juga serdadu Amerika di Perang Dunia II, dan bahkan di tahun 1960-an dipakai oleh sekitar 90% pemain basket kampus dan profesional.
Sebagai generasi yang besar di tahun 1990-an, All Star selalu menjadi pilihan favorit untuk tampil kasual, namun sepatu ini bukannya tidak punya kelemahan. Selama ini masalahnya seperti penyakit umum sepatu kanvas berwarna: mudah belel (ini karena saya kurang suka All Star belel) dan terutama solnya kurang nyaman. Lebih parah lagi, setelah dibuat di Indonesia salah satu All Star terakhir yang saya beli sepertinya cacat produksi di bagian sol. Sampai kini jika dipakai tidak nyaman sebelah. Karena faktor kenyamanan inilah saya tidak pernah memakai sneakers All Star setiap hari berturut-turut, terutama untuk kegiatan dengan aktivitas tinggi. Tapi memang baiknya kita selalu merotasi pemakaian sepatu agar penampilan dan umur sepatu lebih panjang.
Walau demikian, kurang nyamannya sol sepatu All Star tidak menjadi masalah besar, terlebih karena harganya yang ekonomis plus nilai historis dan faktor ikoniknya membuat sepatu ini tetap memiliki penggemar setia. Penjualan sneakers All Star di dunia pun terus meningkat dari tahun ke tahun. Memang kini harga All Star di Indonesia tidak semurah dulu. Di toko resminya Converse Chuck Taylor All Star dibandrol seharga Rp 559 ribu untuk versi Hi, dan Rp 499 ribu untuk versi Low.
Chuck II Hi Top Dengan Empat Varian Warna - wired.com |
Karena itu, ketika pada bulan Juli 2015 Converse merilis Chuck Taylor All Star terbarunya dengan sebutan Chuck II, kami bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan yang orisinal. Di negeri asalnya, “Chuck” adalah sebutan akrab untuk All Star. CEO Jim Calhoun sendiri menyatakan kalau mereka akan menjual Chuck II bersebelahan dengan versi orisinal, dan melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pada Chuck II, Converse menawarkan perubahan kecil namun paling besar yang pernah dilakukan Converse pada sepatunya yang paling ikonik ini. Dengan teknologi Nike (yang membeli Converse ketika bangkrut pada tahun 2003), masalah kurang nyamannya All Star dijawab oleh Chuck II dengan penggunaan insole Nike yang bernama Lunarlon. Insole yang biasa dipakai dalam sepatu basket dan sepatu lari Nike ini begitu ringan dan empuk. Insole ini dapat ditemui pada semua tipe Chuck II yang mengutamakan kenyamanan.
Selain insole Lunarlon, perbedaan lainnya pada bayi baru Converse ini adalah micro-suede lining, yaitu kulit dalam berbahan suede yang halus untuk menambah kenyamanan; padded non-slip tongue, agar lidah sepatu tidak bergeser ke kiri dan ke kanan saat dipakai; serta bahan kanvas premium yang membuatnya terlihat lebih modern dan segar.
Pada Chuck II, Converse menawarkan perubahan kecil namun paling besar yang pernah dilakukan Converse pada sepatunya yang paling ikonik ini. Dengan teknologi Nike (yang membeli Converse ketika bangkrut pada tahun 2003), masalah kurang nyamannya All Star dijawab oleh Chuck II dengan penggunaan insole Nike yang bernama Lunarlon. Insole yang biasa dipakai dalam sepatu basket dan sepatu lari Nike ini begitu ringan dan empuk. Insole ini dapat ditemui pada semua tipe Chuck II yang mengutamakan kenyamanan.
Insole Lunarlon - gizmodo.com |
Perubahan lainnya adalah beberapa fitur kosmetik, seperti logo All Star di sisi luar bagian dalam kaki yang sebelumnya ditempel kini dibordir, warna benang jahit putih pada All Star orisinal diganti dengan warna benang senada sepatu, juga lubang tali sepatu yang tadinya krom dibuat sewarna dengan sepatunya. Setrip hitam yang mengelilingi sisi sol juga diganti menjadi setrip putih.
Sepintas lalu, desain Chuck II tidak banyak berbeda dengan All Star orisinal, kecuali lebih polos tanpa detail garis dan benang jahitan putih yang meninggalkan kesan vintage seperti pada All Star orisinal. Dibandingkan versi orisinalnya, sneakers Chuck II ini tampil lebih clean, modern, dan fresh.
Chuck II vs All Star Orisinal - gizmodo.com |
Desain ulang All Star ini sepertinya merupakan usaha Converse untuk membuat terobosan yang ditujukan ke pasar yang lebih muda. Meskipun saya sendiri berpendapat upaya ini tidak akan mudah untuk membuat penggemar lama melirik Chuck II, terutama karena tipe orisinal All Star tetap akan dijual bersamaan dengan Chuck II di toko. Bagaikan bumerang, faktor ikonik sneakers All Star dalam dunia pop culture selama beberapa dekade ini adalah nilai yang sulit ditandingi.
Saat ini menurut akun Twitter resmi Converse Indonesia, @ConverseID, Chuck II sudah bisa didapatkan di concept store Converse dan dibandrol dengan harga Rp 1,199 juta untuk tipe Hi dan Rp 999 ribu untuk tipe Low. Perbedaan harga yang hampir dua kali lipat ini cukup tinggi, mengingat di Amerika Chuck II hanya dibandrol 15 dolar lebih mahal (sekitar Rp 200 ribu) dari All Star orisinal.
Saya sendiri belum tahu akan mencoba Chuck II atau tidak karena harganya yang cukup tinggi, dan saya adalah tipe penggemar sneakers klasik dengan harga terjangkau. Yang jelas kalau membeli Chuck II hitam, saya akan mengganti tali hitamnya dengan yang putih sehingga terlihat lebih klasik.
Chuck II vs All Star Orisinal - footwearnews.com |
Keterangan: Tulisan ini tidak disponsori. Produk yang ditulis bukan merupakan hasil pemberian atau kerja sama. Tulisan ini merupakan refleksi penulis pribadi.